Waspadai buku “SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.” Buku yang diberi Kata Pengantar oleh Ketua PBNU, Prof KH Said Agil Siraj ini penuh dengan kesesatan, antara lain: menebar provokasi kebencian dan permusuhan sesama Muslim, mengajarkan rasisme, penuh kecurangan dan kebohongan, mempromosikan ajaran Syi’ah, memicu pertikaian besar sesama kaum Muslimin, terang-terangan mengajarkan prinsip-prinsip kesesatan, mengajarkan sikap kurang ajar kepada para Ulama, memakai metode intelijen untuk mengadu-domba umat Islam, dan mendukung serangan kaum Islamophobia terhadap dakwah.
Di tahun 2011 ini muncul sebuah kejutan, khususnya di lapangan dakwah Islam di tanah Air, yaitu dengan terbitnya sebuah buku berjudul: “SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.” Buku ini karya orang Indonesia, tetapi disamarkan seolah penulisnya adalah orang Arab. Si penulis menyebut dirinya sebagai Syaikh Idahram, sebuah nama yang terasa asing di kancah dakwah.
Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” –selanjutnya disingkat dengan SBSSW– ini sangat berbahaya kalau tersebar luas ke tengah masyarakat. Dilihat dari judulnya saja, tampak sangar, provokatif, dan berpotensi menjerumuskan kaum Muslimin dalam pertikaian tanpa kesudahan. Buku SBSSW ini tidak layak diklaim sebagai buku ilmiah. Bisa dikatakan, buku ini adalah buku adu-domba, yang ditulis oleh orang Syiah dan Liberal, dalam rangka membenturkan sekelompok Ummat Islam dengan kelompok lainnya. Bahkan ia sudah masuk kategori buku Black Campaign.
Kita harus belajar dari kejadian-kejadian aktual di tengah masyarakat. Misalnya kerusuhan di Cikeusik Banten yang menimpa penganut Ahmadiyyah. Kerusuhan itu sudah direkayasa sedemikian rupa; di sana telah dipersiapkan barisan provokator, penyerang bersenjata, pengambil gambar, korban, tukang upload video di internet, dll. Lalu pasca kejadian itu, dibuat rekayasa opini yang sangat keji melalui media-media TV. Dalam opini yang dikembangkan, digambarkan betapa beringas sikap aktivis Islam kepada kaum Ahmadiyyah. Padahal pihak Ahmadiyyah sendiri melalui pimpinannya (Deden) sejak awal sudah menginginkan terjadi kerusuhan di tempat tersebut. Akibat kerusuhan ini, para aktivis Liberal (baca: kaum non Muslim) berkoar-koar meminta supaya FPI dibubarkan. Kejadian itu mencerminkan skenario adu-domba, permusuhan, dan penyesatan opini. Kaum Liberal (non Muslim) yang kebanyakan adalah anak-cucu kaum PKI di tahun 1965 dulu, mereka selalu berada di balik aksi-aksi jahat untuk menghancurkan citra kaum Muslimin dan merusak persatuan Ummat. Di balik beredarnya buku SBSSW tercium aroma kuat modus serupa, berupa adu domba dan penyesatan opini. Semoga Allah Ta’ala mengekalkan laknat, kehancuran usaha, kesusahan hidup, serta kehinaan, atas kaum pendosa yang selalu memfitnah Islam dan kaum Muslimin itu. Amin Allahumma amin, ya ‘Aziz ya Jabbar ya Mutakabbir.
Buku ini bisa memicu banyak bahaya di tengah-tengah kehidupan kaum Muslimin. Di sini kita akan membahas sisi-sisi bahaya tersebut, antara lain sebagai berikut:
Dalam hadits Nabi SAW bersabda,
Salah satu bukti sikap RASIS dari penulis buku ini ada di hal. 174. Disana dia mengatakan: “Tanduk setan itu berasal dari keturunan Bani Tamim. Sedangkan kita tahu bahwa, pendiri Salafi Wahabi itu juga berasal dari keturunan yang sama, yaitu Bani Tamim, sebagaimana gelar yang selalu dipakainya: Muhammad Ibnu Abdul Wahhab an Najdi at Tamimi. Jadi klop sudah. Bukan dibuat-buat.” (SBSSW, hal. 174). Dalam halaman yang cukup banyak penulis ini menghancurkan nama baik wilayah Najd, di Saudi. Salah satunya dia katakan: “Dari Najd timbul berbagai kegoncangan, fitnah-fitnah, dan dari sana munculnya tanduk setan.” (SBSSW, hal. 158).
Anehnya vonis “tanduk setan” terhadap Najd dan penduduknya ini tidak dilakukan, kecuali setelah di Najd bangkit dakwah Wahabi. Artinya, vonis itu mengandung niat busuk. Kalau misalnya wilayah Najd dianggap “tanduk setan”, seharusnya mereka sudah melontarkan vonis jauh-jauh hari sebelum muncul gerakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Bahkan seharusnya, mereka dan Khilafah Utsmani di Turki tidak boleh marah ketika Najd direbut oleh keluarga Ibnu Saud. Ya buat apa marah, wong Najd sudah divonis sebagai “tanduk setan” kok? Malah mereka seharusnya bersyukur, ada manusia yang mau mengolah wilayah “tanduk setan” itu. Kalau melihat dendam kesumat kaum anti Wahabi, baik dari sisi kaum Alawiyyun atau kaum Syiah, masalah sebenarnya bukan ke persoalan Najd sebagai “tanduk setan.” Tetapi Najd yang semula dikuasai keluarga Syarif Hussein selama 700 tahun, lalu berpindah kekuasaan ke tangan Ibnu Saud. Itu sebenarnya masalah utama di balik munculnya hadits-hadits soal Najd sebagai “tanduk setan” ini. Bisa jadi, ketika 700 tahun Najd dikuasai keluarga Syarif, mereka tidak banyak menyinggung soal Najd sebagai “tanduk setan.”
Bukan hanya Bani Tamim atau penduduk Najd yang dilecehkan penulis, dia juga melecehkan orang Arab.
Dalam bukunya dia berkata: “Tidak semua orang Arab mengerti agama, bahkan banyak dari mereka yang ‘lebih dajjal’ daripada dajjal.” (SBSSW, hal. 224).
Padahal Nabi SAW menyebut bahwa puncak fitnah itu ada saat kedatangan dajjal. Bahkan kata beliau, para Nabi dan Rasul selalu mengingatkan ummatnya tentang dajjal ini. Lalu kini, si penulis menuduh banyak orang Arab ‘lebih dajjal’ dari dajjal sendiri. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Berarti dalam hal ini penulis merasa lebih pintar dari Nabi SAW? Masya Allah!! Banyak bukti-bukti sikap RASIS dari si penulis yang menyebut diri Syaikh Idahram ini. Dan sikap RASIS ini sudah menjadi ciri khas kaum Syiah dan penganut SEPILIS.
Para penganut Syiah di Indonesia banyak dari keturunan Arab Yaman (Hadramaut). Mereka itu orang Arab, atau keturunan Arab. Padahal dalam akidah Syiah, jika nanti turun Imam Al Mahdi Al Qaim, dia akan membabat habis bangsa Arab, hanya menyisakan kaum Persia. Begitu keyakinan mereka. (Mengapa Saya Keluar dari Syiah, karya Sayyid Hussein Al Musawi, hal. 134-135). Pemimpin FPI, Habib Rieziq Shihab, pernah menulis sebuah makalah ilmiah tentang karakter RASIS kaum Liberal.
Contoh, ketika dia menyebutkan kekejaman kaum Wahabi di hal. 61-138, bab tentang, “Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama.” Di sini yang diceritakan penulis hanya kekejaman, keganasan, kesadisan, serta angkara murka kaum Wahabi. Tetapi penulis tidak pernah sedikit pun mengakui bahwa semua itu merupakan bentuk KONFLIK POLITIK antara keluarga-keluarga Emir (bangsawan) di Jazirah Arab.
Konflik seperti itu sudah terjadi sejak lama di Jazirah Arab, bahkan sebelum Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dilahirkan oleh ibunya. Penulis ini juga hanya menghujat posisi Kerajaan Saudi, padahal yang melepaskan diri dari Khilafah Utsmani Turki bukan hanya Saudi. Disana ada Yaman, Bahrain, UEA, Qatar, Irak, Oman, Mesir, Yordania, Syria, dll. Kecurangan yang dibungkus kemasan ilmiah, tentu lebih berbahaya, sebab ia akan dikira sebagai kebenaran yang tak terbantahkan.
Tidak ada seorang pun Ahlus Sunnah yang menyebut Kota Najaf dengan sebutan Al Asyraf. Hanya orang Syiah yang melakukan hal itu.
Kota Najaf terletak di Irak, begitu pula Karbala. Sedangkan Kota Qum terletak di Iran. Kota Najaf, Karbala, dan Qum selama ini diklaim sebagai kota suci kaum Syiah. Sepanjang tahun kaum Syiah berziarah ke kota-kota itu karena di sana ada situs-situs yang disucikan kaum Syiah. Selama ini kaum Muslimin mengenal Masjidil Haram di Makkah dengan sebutan Al Haram As Syarif. Namun kaum Syiah menyebut Kota Najaf dengan ungkapan Al Asyraf (artinya, lebih mulia atau paling mulia). Seolah, mereka ingin mengatakan, bahwa Najaf lebih mulia dari Kota Makkah. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun.
Fakta lain yang menunjukkan bahwa si penulis berakidah Syiah adalah pernyataan berikut ini: “Dalam Islam, sedikitnya ada 7 mazhab yang pernah dikenal, yaitu: Mazhab Imam Ja’far ash Shadiq (Mazhab Ahlul Bait), Mazhab Imam Abu Hanifah an Nu’man, Mazhab Imam Malik bin Anas, Mazhab Imam Syafi’i, Mazhab Imam Ahmad ibnu Hanbal, Mazhab Syiah Imamiyah, dan Mazhab Daud azh Zhahiri. Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi.” (SBSSW, hal. 208).
Demi Allah, Ahlus Sunnah di seluruh dunia Islam tidak akan ada yang mengatakan perkataan seperti ini. Perkataan seperti ini hanya akan keluar dari lidah orang-orang Syiah (Rafidhah). Lihatlah, dalam perkataan ini dia mengklaim ada 7 madzhab dalam Islam, yaitu 4 madzhab Ahlus Sunnah, ditambah 2 madzhab Syiah (madzhab Ja’fari dan Imamiyyah) dan 1 madzhab Zhahiri. Pendapat yang masyhur di kalangan Ahlus Sunnah, madzhab fikih itu hanya ada 4 saja, yaitu madzhab Abu Hanifah (Hanafi), Imam Malik (Maliki), Imam Syafi’i (Syafi’i), dan madzhab Imam Ahmad (Hanbali). Kalau ada tambahan, paling madzhab Zhahiri. Itu pun tidak masyhur di kalangan Ahlus Sunnah. Lalu dalam buku SBSSW itu, si penulis Syiah berusaha membohongi kaum Muslimin, dengan mengatakan, bahwa dalam Islam ada sedikitnya 7 madzhab. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Bahkan madzhab Ja’fari dalam kalimat di atas disebut pada urutan pertama. Lebih busuk lagi, madzhab Syiah Imamiyyah yang merupakan salah satu sekte Syiah paling ekstrem, disebut sebagai madzhab Islam juga. Allahu Akbar!
Kalimat di atas juga mengandung kebodohan yang sangat telanjang. Coba perhatikan kalimat berikut ini: Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi. (SBSSW, hal. 208). Kalimat seperti ini hanya mungkin dikatakan oleh orang gila. Bayangkan, si penulis secara tegas mengklaim, bahwa madzhab Salaf itu tidak ada. Tetapi pada kalimat yang sama, dia mengakui bahwa imam-imam madzhab (seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad), termasuk bagian dari ulama Salaf. Si penulis bermaksud mementahkan eksistensi madzhab Salaf, tetapi saat yang sama dia mengakui bahwa imam-imam madzhab itu termasuk imam madzhab Salaf. Kalau dia jujur ingin mengatakan, bahwa madzhab Salaf tidak ada, berarti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali juga tidak ada. Ya bagaimana lagi, wong mereka itu imam-imam Salaf kok. Si penulis itu mengakui, bahwa mereka adalah imam-imam Salaf.
Sangat disayangkan dalam hal ini, KH. Ma’ruf Amin, salah satu Ketua MUI, ikut mendukung buku ini. Padahal MUI sendiri pada tahun 1984 pernah mengeluarkan fatwa yang menjelaskan pokok-pokok kesesatan paham Syiah menurut Ahlus Sunnah, kemudian MUI meminta Ummat Islam mewaspadai sekte ini. (Lihat situs voa-islam.com, tentang tersebarnya fatwa palsu MUI tentang Syiah yang ditulis anggota MUI, Prof. Dr. Umar Shihab. Fatwa itu mengklaim bahwa paham Syiah tidak sesat menurut MUI. Lalu redaksi voa-islam.com mencantumkan fatwa MUI asli yang dikeluarkan tahun 1984, tentang aspek-aspek kesesatan Syiah).
Bahkan KH. Ma’ruf Amin pernah diminta MUI untuk mengkaji tentang haramnya Nikah Mut’ah di kalangan Syi’ah. (Lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, karya Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, hal. 144. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, tahun 2006).
Seharusnya beliau membaca secara teliti buku SBSSW itu, sebelum mempromosikannya ke tengah masyarakat. Kalau ingin membantah KH. Ma’ruf Amin ini, kita merasa tidak enak, sebab beliau termasuk ulama sepuh di negeri kita. Tetapi kalau melihat keterlibatan beliau dalam mendukung buku SBSSW itu, kita sangat menyesalinya. Bisakah di sini dikatakan bahwa KH. Ma’ruf Amin ikut mendukung paham Syiah? Wallahu A’lam bisshawaab. Semoga saja dukungan KH. Ma’ruf Amin ini hanyalah merupakan ketergelinciran seorang alim dan semoga ia segera dihapus dengan pernyataan bara’ah (berlepas diri dari buku SBSSW itu). Kalau beliau tidak melakukannya, secara pribadi saya akan menyebut beliau sebagai pendukung Syiah dan SEPILIS. Siapapun yang terlibat mempromosikan ajaran sesat (Syiah dan SEPILIS) tidak layak didoakan mendapat khusnul khatimah, karena promosi seperti itu bisa membuat ribuan kaum Muslimin mati dalam keadaan su’ul khatimah. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.
Contoh, gerakan Ikhwanul Muslimin. Manhaj gerakan ini merujuk kepada Ushulul Isyrin (prinsip 20) yang diajarkan Syaikh Hasan Al Bana rahimahullah. Dalam prinsip itu juga diajarkan tentang pentingnya Tauhid, buruknya syirik; pentingnya Sunnah, buruknya bid’ah. Bahkan ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, Dewan Dakwah (DDII), Pesantren Hidayatullah, Wahdah Islamiyyah, dll. juga mengajarkan Tauhid, Sunnah, ilmu, dan dakwah. Begitu pula Majelis Mujahidin, Jamaah Ansharut Tauhiid, dan yayasan-yayasan dakwah Salafi. Jika masyarakat salah paham, mereka akan menyangka bahwa semua organisasi, lembaga, atau yayasan itu harus dibenci dan dimusuhi, karena mereka dianggap Wahabi.
Kalau dikatakan Salaf tidak pernah sama dalam segala masalah agama, otomatis mereka selalu berselisih dan berselisih. Disini mengandung dua tuduhan dahsyat. Pertama, penulis itu telah menuduh para Shahabat Ra bermental buruk, sehingga sulit menyatukan kalam.
Di mata kaum Syiah, mencela, menghina, atau merendahkan para Shahabat Ra bukan sesuatu yang aneh. Bahkan melaknat para Shahabat itu telah menjadi amal shalih tersendiri. Na’udzbillah min dzalik.
Mereka selalu berpecah-belah, tak pernah bersatu. Kedua, penulis juga menuduh ajaran Islam sebagai biang perpecahan. Padahal secara hakiki, Islam mengajarkan prinsip Al Jamaah, yaitu persatuan Ummat. Bahkan ada ulama yang mengatakan, perpecahan adalah qurrata a’yun-nya syaitan. Karena syaitan sangat berkepentingan terhadap perpecahan Ummat
Kemudian, perhatikan kalimat berikut ini, “Siapa saja yang ahli atau telah memenuhi syarat dalam memahami teks-teks agama, dia berhak atas hal itu, tidak wajib mengikuti pemahaman Salaf seperti yang disangkakan Salafi Wahabi.” (SBSSW, hal. 205). Lihatlah betapa beraninya ucapan penulis ini! Dia begitu meremehkan kaum Salaf, dan merasa dirinya setara dengan Salaf. Innalillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Sudah masyhur tentang kisah Imam Malik rahimahullah. Beliau pernah ditanya 40 pertanyaan, dan sebagian besar pertanyaan itu dijawab dengan kalimat, “Laa ad-riy” (aku tidak tahu). Hanya satu pertanyaan yang beliau jawab. Lihatlah, betapa sangat hati-hatinya Imam Malik dalam berfatwa. Padahal siapa yang meragukan pengetahuan beliau tentang Islam? Ajaran yang menyuruh Ummat Islam mengikuti jejak Salafus Shalih, bukanlah monopoli kaum Wahabi. Hal itu disebutkan dalam Al Qur’an, Surat At Taubah ayat 100:
Di sini ada kalimat وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ “walladzinat taba’uu hum bil ihsan” (dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan). Ini adalah dalil qath-iy tentang pentingnya mengikuti jejak Salafus Shalih (para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in).
Lucunya, si penulis dalam bukunya ternyata getol mengikuti konsep keilmuwan yang ditinggalkan para Salaf, setidaknya dalam soal riwayat hadits-hadits. Bisa dikatakan di sini, “Tanpa peranan generasi Salaf, kita hari ini tidak akan memiliki ilmu apapun.”
Di halaman lain penulis SBSSW berkata: “Bagaimana mungkin mereka mengharuskan kita mengikuti madzhab Salaf, kalau namanya saja tidak ada? Sebab tidak pernah ada dan tidak pernah dikenal dalam sejarah peradaban umat Islam, apa yang dinamakan madzhab Salaf.” (SBSSW, hal. 207-208). Ini adalah puncak kebodohan si penulis. Memang dalam Al Qur’an atau As Sunnah, tidak disebutkan secara eksplisit “madzhab Salaf.” Tetapi kaum Salaf itu ada dan nyata. Kaum Salaf adalah para Shahabat Nabi, Khulafaur Rasyidin, Ahlul Bait Nabi, kaum Muhajirin, kaum Anshar, peserta Perang Badar, peserta Bai’at Ridhwan, dll. Begitu pula Imam madzhab fiqih, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal; para imam ahli hadits, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ibnu Majah, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ad Darimi, dll. Semua itu adalah kaum Salaf. Mereka ada dan nyata. Hanya orang-orang pandir yang akan mengingkari mereka.
Kita tidak perlu mencari-cari sebutan “madzhab Salaf” untuk mengikuti jejak mereka. Adanya eksistensi kaum Salaf yang merupakan generasi terbaik Ummat ini, itu sudah menunjukkan adanya manhaj Salaf. Seperti pernyataan kaum Badui yang masih bersih fithrah ketika ditanya tentang eksistensi Allah. “Adanya jejak kaki dan kotoran hewan, bisa menunjukkan adanya kafilah yang melintasi padang pasir. Begitu pula, adanya bintang-bintang di langit menunjukkan adanya Sang Pencipta alam semesta.” Adanya suatu kaum yang memiliki sifat-sifat tertentu, hal itu sudah membuktikan adanya manhaj kaum tersebut. Kalau kemudian manhaj Salaf hendak dibuang, jelas akan bubar agama ini. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik. Bagaimana bisa kita memahami Islam, tanpa metode yang dicontohkan kaum Salaf? Adapun bentuk mengikuti manhaj Salaf itu secara kongkritnya ialah mengikuti dan melestarikan kaidah-kaidah ilmiyah yang diwariskan kaum Salaf di bidang Al Qur’an, Tafsir, ilmu Hadits, Akidah, Fiqih, Ibadah, hukum Haad, Siyasah, Suluk, ilmu bahasa, sastra Arab, dll. Sejauh kita beragama mengikuti kaidah-kaidah ilmiah itu, berarti kita telah mengikuti Salaf. Dan kaidah-kaidah inilah yang selama ini hendak dihancurkan oleh para penganut SEPILIS.
Lihat, betapa lancangnya si penulis dalam membantah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah! Dia merasa lebih pandai dari Imam Ahmad. Masya Allah.
Dengan berdalil memakai surat Al Anbiya’ ayat 2 ini, penulis hendak mematahkan akidah Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa Al Qur’an itu Kalamullah, bukan muhdats (ciptaan baru). Menurut si penulis, Al Qur’an itu ciptaan baru alias makhluk. Namun sangat curangnya, dia memotong kelanjutan dari ayat tersebut. Kelanjutannya adalah, “Illa istama’uhu wa hum yal’abuun” (melainkan mereka mendengarkan, namun dengan main-main). Jadi yang dimaksud dalam Surat Al Anbiya’ ayat 2 itu ialah celaan terhadap sikap buruk orang musyrikin, tatkala datang ayat-ayat Allah yang baru (karena memang Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur), mereka mendengarkan tetapi sambil bermain-main. Ayat ini berkaitan dengan kelakuan orang musyrik, bukan dalil bahwa Al Qur’an itu makhluk. Kalau tidak percaya, silakan Pembaca periksa sendiri ayat tersebut menurut versi terjemahan paling popluler di Indonesia, yaitu Departemen Agama RI. Ulama akidah menjelaskan, bahwa keyakinan ‘Al Qur’an itu makhluk’, apabila didasari pengetahuan dan kesengajaan, akan membuat kafir pelakunya. Sebab dengan keyakinan itu mereka hendak menyamakan Al Qur’an dengan makhluk, yang tentu di sisi makhluk terdapat banyak kelemahan dan kesalahan. Siapapun yang meyakini demikian, berarti dia telah kufur kepada Al Qur’an. Padahal salah satu syarat keimanan adalah at tashdiqu bil qalbi (pembenaran dengan hati). Kalau hatinya sudah kufur kepada Al Qur’an, otomatis imannya pun gugur. Maka orang-orang Syiah yang meyakini bahwa Al Qur’an telah diubah-ubah oleh para Shahabat Nabi Saw termasuk ke golongan gugur iman itu. Na’udzubillah minal kufri.
Di sisi lain, penulis ini dengan sangat lancang mengatakan: “Jadi benar apa yang disangkakan selama ini, bahwa ternyata Salaf yang mereka maksud, tidak lain dan tidak bukan, adalah Ibnu Taimiyah dan CS-nya.” (SBSSW, hal. 220). Begitu juga: “Sudah jelaslah, siapakah sebenarnya yang mereka ikuti, yakni Ibnu Taimiyah, Ibnu Abdul Wahab dan CS-nya, yang mereka klaim sebagai ‘Salaf’.” (SBSSW, hal. 222). Menyebut ulama besar dengan kata “CS-nya” bukanlah adab manusia terpelajar. Ia hanya pantas dilakukan manusia-manusia otak kotor. Lebih buruk lagi si penulis mengatakan: “Begitu juga dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh pendiri Wahabi –sosok temperamental dan kejam yang telah membunuhi ribuan umat Islam semasa hidupnya-, hampir semua ulama yang hidup sezaman dengannya menganggap ajarannya sesat.” (SBSSW, hal. 223).
Jahatnya, si penulis sama sekali tidak pernah bisa membuktikan, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah membunuh manusia, apalagi sampai ribuan manusia. Itu tak ada bukti valid yang bisa dipegang.
Penulis ini tentu saja tidak segan melecehkan ulama-ulama besar lain, seperti Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Al Albani, Syaikh Ibnu Jibrin, Syaikh Shalih Fauzan, bahkan melecehkan dewan fatwa Saudi, Lajnah Da’imah. Kalau sudah begini, apalagi yang bisa diharapkan dari penulis ini? Masih adakah kebaikan disana?
Di hadapan sikap tajassus, tidak ada seorang manusia pun yang selamat dari kesalahan. Namanya juga mencari-cari kesalahan; kalau tidak ketemu, ya dipaksakan agar tetap ada kesalahan. Dalam buku SBSSW itu penulis menyebut fatwa Syaikh Bin Baz tentang “bumi tidak berputar.” Di antara sekian banyak fatwa-fatwa Syaikh Bin Baz yang bermanfaat, sehingga Dr. Yusuf Al Qaradhawi pernah menyebut beliau sebagai Al Imamul Jazirah, ternyata oleh penulis diambil fatwa tentang “bumi tidak berputar ini” (hal. 220-221). Begitu pula penulis ini menyebut pendapat Ibnu Taimiyyah yang ganjil tentang “siksa neraka untuk orang kafir tidak kekal” (hal. 184). Pendapat-pendapat seperti ini bukan pendapat utama mereka. Ia adalah pendapat “recehan” di sisi sedemikian banyak pendapat-pendapat mereka yang berkualitas. Tetapi karena memang dasarnya benci, apapun kesalahan yang dijumpai akan dipakai untuk menyerang.
Salah satu yang lucu ialah ketika si penulis mengutip pandangan Dr. Said Ramadhan Al Buthi dalam bukunya, As Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah Laa Madzhab Islami. (SBSSW, hal. 27). Dengan dasar buku ini dia menuduh ulama-ulama Wahabi tidak mengikuti madzhab apapun. Padahal para ahli-ahli Islam sudah mafhum, bahwa ulama-ulama Saudi, termasuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, bahkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah, mereka itu pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Ini sangat nyata dan jelas.
Dalam soal “Al Qur’an adalah Kalamullah” jelas-jelas mereka mengikuti akidah Imam Ahmad. Begitu pula Bahkan Syaikh Al Albani rahimahullah telah menyusun kitab Al Irwa’ul Ghalil, sebanyak total 9 jilid. Kitab ini berisi takhrij hadits-hadits yang termuat dalam kitab Manarus Sabil yang menjadi pegangan fiqih madzhab Hanbali. Ulama-ulama Wahabi pun giat memberikan syarah terhadap kitab Aqidah Thahawiyyah, yang bersumber dari akidah Imam Abu Hanifah rahimahullah. Dan begitu bencinya penulis ini kepada Wahabi, sampai dia menulis: “Pembagian tauhid semacam itu tidak terdapat juga di dalam karya murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal seperti Ibnu Al Jauzi dan Al Hafizh Ibnu Katsir.” (SBSSW, hal. 236).
Kalau dunia ilmiah sudah dimasuki metode tajassus ini, hasilnya hanyalah kerusakan, dendam, dan kesesatan. Tidak ada kebaikan dari metode yang dibangun di atas cara haram. Bukankah tajassus diharamkan dalam Al Qur’an?
Contohnya, perhatikan kalimat berikut ini: “Kita harus melepaskan pemahaman-pemahaman tersebut dan kembali kepada Al Qur’an, Sunnah Rasul SAW, dan ilmu bahasa Arab sebagai alatnya. Lalu, kita pakai otak kita untuk memahami dan menelaah perkara-perkara yang diperselisihkan tersebut, sehingga akan jelas bagi kita saat itu, mana pendapat yang benar dan mana yang salah di antara mereka. Kita kembali kepada pemahaman kita, bukan kepada pemahaman Salaf.” (SBSSW, hal. 211).
Lihatlah betapa beraninya penulis dalam meninggikan otaknya di atas ilmu para Salaf yang mulia. Kemudian baca kalimat berikut ini: “Sebab, jika semua orang Arab ‘berhak’ untuk menafsirkan Al Qur’an sekehendak hatinya, tanpa mengerti rambu-rambunya, dan boleh berijtihad tanpa keahlian yang dia miliki, maka semua orang Arab menjadi ulama. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Tidak semua orang Arab mengerti agama, bahkan banyak dari mereka yang ‘lebih dajjal’ daripada dajjal. Itulah sebabnya, kenapa tidak sembarang orang boleh berijtihad dan mengeluarkan fatwa.” (SBSSW, hal. 224).
Dua kutipan ini tentu sangat mencengangkan; satu sisi memberi kebebasan penuh kepada akal untuk mencerna perselisihan-perselisihan agama; di sisi lain tidak boleh sembarangan memahami agama dengan akal sendiri. Padahal jarak antara kalimat pertama dan kedua hanya beberapa halaman saja.
Kegilaan itu merata dalam buku si penulis. Ketika dia membahas hadits-hadits tentang Najd, dia mengklaim bahwa Najd adalah tempatnya fitnah, tempatnya puncak kekafiran, tempatnya “tanduk setan.” Tetapi ketika membahas tentang kekejaman kaum Wahabi (seperti yang dituduhkan penulis), dia menyebutkan kota-kota di Najd yang menjadi sasaran keganasan kaum Wahabi, seperti Thaif, Qashim, Ahsa, Uyainah, Riyadh, Syammar, dan lainnya. (Lihat SBSSW, hal. 77-106).
Tentu kita masih ingat munculnya buku, “Ilusi Negara Islam.” Di sana gerakan-gerakan dakwah Islam internasional juga mendapatkan stigmatisasi, dengan label “gerakan transnasional.” Tujuannya, agar masyarakat Indonesia membenci gerakan-gerakan dakwah dari luar negeri itu.
Kita menyadari, kaum Syiah, penganut SEPILIS, Yahudi-Nashrani, orientalis Barat, aliran-aliran sesat, mereka sudah sepakat untuk menghancurkan fondasi ajaran Islam dari dasar-dasarnya. Siang malam mereka berjuang untuk merealisasikan tujuan penghancuran Akidah, Syariat, dan Peradaban Islam. Seperti LSM SETARA Institute.
Adalah sangat ajaib ketika Said Agil Siraj, Ketua Umum PBNU, memberikan dukungan terbuka terhadap buku SBSSW ini. Apa tujuannya? Apakah ingin menghancurkan dakwah Islam, ilmu Syariat, merusak persatuan Ummat, dan mencerai-beraikan proyek-proyek pembangunan Islam selama ini? Di mana kualitas intelektualitas seorang Said Agil Siraj sebagai “profesor doktor” dan Ketua Umum PBNU? Tidak ingatkah Said Agil Siraj bahwa dia mendapat gelar doktor setelah menamatkan studi di Universitas Ummul Qura’, yang dikelola kaum Wahabi?
Kalau kata orang Jawa Timur, “Yo, sing nduwe isin-lah, Pak!” Anda sudah kenyang mendapat fasilitas dari kaum Wahabi, bahkan anak-anak Anda lahir di bawah kemurahan kaum Wahabi, lalu kini Anda ikut menyerang paham Wahabi dengan membabi-buta. Apakah dulu di pesantren Anda tidak diajari pelajaran adab seorang Muslim?
Kalau membaca buku SBSSW itu, saya yakin bahwa posisi Said Agil Siraj ini –semoga Allah membalas perbuatannya secara adil dan menjadi ibrah besar bagi kaum Muslimin di Nusantara- bukan hanya sebagai pemberi kata pengantar. Saya yakin, Said Agil Siraj terlibat langsung di balik proyek penerbitan buku-buku propaganda ini.
Menurut Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, sosok Said Agil Siraj ini pernah dikafirkan oleh 12 orang kyai. Ada pula yang melayangkan surat ke Universitas Ummul Qura, meminta supaya mereka mencabut gelar doktor Said Agil. (50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, karya Budi Handrianto, hal. 160. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2007).
Demikianlah sekilas pandangan tentang buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi,” karya Syaikh Idahram. Buku ini andaikan ditulis dengan semangat kejujuran, metode ilmiah Islami, serta upaya melakukan koreksi terhadap sesama Muslim, dalam rangka memperbaiki kehidupan Ummat; tentu upaya itu akan disambut dengan rasa syukur. Sekurangnya, ia akan dipandang sebagai sumbangan ilmiah berharga. Tetapi dengan performa judul, metode penulisan, serta sekian banyak kecurangan yang dilakukan penulis; tidak diragukan lagi bahwa buku SBSSW itu ditujukan untuk merusak kehidupan kaum Muslimin.
Secara pribadi saya menghimbau agar para ahli-ahli Islam segera “turun tangan” untuk membuat analisis obyektif atas buku SBSSW itu. Kemudian hasilnya, silakan sampaikan kepada khalayak kaum Muslimin. Saya sendiri berpandangan, buku ini sangat berbahaya, dan sudah selayaknya di-black list, atau ditarik dari peredaran.
Akhirul kalam, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu merahmati kaum Muslimin di negeri ini, menolong mereka atas segala prahara berat yang menimpa, menyantuni mereka atas segala konspirasi jahat yang dilontarkan musuh-musuh Islam, serta meluaskan hidayah ke seluruh sudut negeri, agar lebih banyak manusia yang hidup di atas keshalihan; bukan di atas khianat, kedengkian, dan permusuhan terhadap Islam. Allahumma amin. Wallahu a’lamu bis-shawab
sumber : Voice of islam, NahiMunkar
Oleh: AM. Waskito
Di tahun 2011 ini muncul sebuah kejutan, khususnya di lapangan dakwah Islam di tanah Air, yaitu dengan terbitnya sebuah buku berjudul: “SEJARAH BERDARAH SEKTE SALAFI WAHABI: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.” Buku ini karya orang Indonesia, tetapi disamarkan seolah penulisnya adalah orang Arab. Si penulis menyebut dirinya sebagai Syaikh Idahram, sebuah nama yang terasa asing di kancah dakwah.
Buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” –selanjutnya disingkat dengan SBSSW– ini sangat berbahaya kalau tersebar luas ke tengah masyarakat. Dilihat dari judulnya saja, tampak sangar, provokatif, dan berpotensi menjerumuskan kaum Muslimin dalam pertikaian tanpa kesudahan. Buku SBSSW ini tidak layak diklaim sebagai buku ilmiah. Bisa dikatakan, buku ini adalah buku adu-domba, yang ditulis oleh orang Syiah dan Liberal, dalam rangka membenturkan sekelompok Ummat Islam dengan kelompok lainnya. Bahkan ia sudah masuk kategori buku Black Campaign.
Kita harus belajar dari kejadian-kejadian aktual di tengah masyarakat. Misalnya kerusuhan di Cikeusik Banten yang menimpa penganut Ahmadiyyah. Kerusuhan itu sudah direkayasa sedemikian rupa; di sana telah dipersiapkan barisan provokator, penyerang bersenjata, pengambil gambar, korban, tukang upload video di internet, dll. Lalu pasca kejadian itu, dibuat rekayasa opini yang sangat keji melalui media-media TV. Dalam opini yang dikembangkan, digambarkan betapa beringas sikap aktivis Islam kepada kaum Ahmadiyyah. Padahal pihak Ahmadiyyah sendiri melalui pimpinannya (Deden) sejak awal sudah menginginkan terjadi kerusuhan di tempat tersebut. Akibat kerusuhan ini, para aktivis Liberal (baca: kaum non Muslim) berkoar-koar meminta supaya FPI dibubarkan. Kejadian itu mencerminkan skenario adu-domba, permusuhan, dan penyesatan opini. Kaum Liberal (non Muslim) yang kebanyakan adalah anak-cucu kaum PKI di tahun 1965 dulu, mereka selalu berada di balik aksi-aksi jahat untuk menghancurkan citra kaum Muslimin dan merusak persatuan Ummat. Di balik beredarnya buku SBSSW tercium aroma kuat modus serupa, berupa adu domba dan penyesatan opini. Semoga Allah Ta’ala mengekalkan laknat, kehancuran usaha, kesusahan hidup, serta kehinaan, atas kaum pendosa yang selalu memfitnah Islam dan kaum Muslimin itu. Amin Allahumma amin, ya ‘Aziz ya Jabbar ya Mutakabbir.
Buku ini bisa memicu banyak bahaya di tengah-tengah kehidupan kaum Muslimin. Di sini kita akan membahas sisi-sisi bahaya tersebut, antara lain sebagai berikut:
1. Menebar provokasi kebencian dan permusuhan sesama Muslim
Buku ini memprovokasi masyarakat untuk membenci dan memusuhi apa yang oleh penulis disebut sebagai sekte Salafi Wahabi. Menyebarkan kebencian seperti itu jelas sangat dilarang dalam Islam.Dalam hadits Nabi SAW bersabda,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَا هُنَا ». وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ « بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ ».
“Seorang Muslim itu saudara Muslim yang lain, tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya dizhalimi, dan menghinanya. Taqwa itu di sini –kata Nabi sambil menunjuk ke dadanya tiga kali-. Cukuplah seseorang disebut berbuat jahat jika dia menghina saudara Muslimnya)” [HR. Muslim].2. Mengajarkan rasisme yang sangat berbahaya
Buku ini mengandung ajaran-ajaran RASIS yang sangat berbahaya. Penulisnya mengajak Ummat Islam memusuhi negara Saudi, para ulamanya, kaum santrinya, serta Pemerintahannya. Selain itu penulis buku itu juga mengajak memusuhi siapa saja, di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang mendukung paham Wahabi.Salah satu bukti sikap RASIS dari penulis buku ini ada di hal. 174. Disana dia mengatakan: “Tanduk setan itu berasal dari keturunan Bani Tamim. Sedangkan kita tahu bahwa, pendiri Salafi Wahabi itu juga berasal dari keturunan yang sama, yaitu Bani Tamim, sebagaimana gelar yang selalu dipakainya: Muhammad Ibnu Abdul Wahhab an Najdi at Tamimi. Jadi klop sudah. Bukan dibuat-buat.” (SBSSW, hal. 174). Dalam halaman yang cukup banyak penulis ini menghancurkan nama baik wilayah Najd, di Saudi. Salah satunya dia katakan: “Dari Najd timbul berbagai kegoncangan, fitnah-fitnah, dan dari sana munculnya tanduk setan.” (SBSSW, hal. 158).
Anehnya vonis “tanduk setan” terhadap Najd dan penduduknya ini tidak dilakukan, kecuali setelah di Najd bangkit dakwah Wahabi. Artinya, vonis itu mengandung niat busuk. Kalau misalnya wilayah Najd dianggap “tanduk setan”, seharusnya mereka sudah melontarkan vonis jauh-jauh hari sebelum muncul gerakan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Bahkan seharusnya, mereka dan Khilafah Utsmani di Turki tidak boleh marah ketika Najd direbut oleh keluarga Ibnu Saud. Ya buat apa marah, wong Najd sudah divonis sebagai “tanduk setan” kok? Malah mereka seharusnya bersyukur, ada manusia yang mau mengolah wilayah “tanduk setan” itu. Kalau melihat dendam kesumat kaum anti Wahabi, baik dari sisi kaum Alawiyyun atau kaum Syiah, masalah sebenarnya bukan ke persoalan Najd sebagai “tanduk setan.” Tetapi Najd yang semula dikuasai keluarga Syarif Hussein selama 700 tahun, lalu berpindah kekuasaan ke tangan Ibnu Saud. Itu sebenarnya masalah utama di balik munculnya hadits-hadits soal Najd sebagai “tanduk setan” ini. Bisa jadi, ketika 700 tahun Najd dikuasai keluarga Syarif, mereka tidak banyak menyinggung soal Najd sebagai “tanduk setan.”
Bukan hanya Bani Tamim atau penduduk Najd yang dilecehkan penulis, dia juga melecehkan orang Arab.
Dalam bukunya dia berkata: “Tidak semua orang Arab mengerti agama, bahkan banyak dari mereka yang ‘lebih dajjal’ daripada dajjal.” (SBSSW, hal. 224).
Padahal Nabi SAW menyebut bahwa puncak fitnah itu ada saat kedatangan dajjal. Bahkan kata beliau, para Nabi dan Rasul selalu mengingatkan ummatnya tentang dajjal ini. Lalu kini, si penulis menuduh banyak orang Arab ‘lebih dajjal’ dari dajjal sendiri. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Berarti dalam hal ini penulis merasa lebih pintar dari Nabi SAW? Masya Allah!! Banyak bukti-bukti sikap RASIS dari si penulis yang menyebut diri Syaikh Idahram ini. Dan sikap RASIS ini sudah menjadi ciri khas kaum Syiah dan penganut SEPILIS.
Para penganut Syiah di Indonesia banyak dari keturunan Arab Yaman (Hadramaut). Mereka itu orang Arab, atau keturunan Arab. Padahal dalam akidah Syiah, jika nanti turun Imam Al Mahdi Al Qaim, dia akan membabat habis bangsa Arab, hanya menyisakan kaum Persia. Begitu keyakinan mereka. (Mengapa Saya Keluar dari Syiah, karya Sayyid Hussein Al Musawi, hal. 134-135). Pemimpin FPI, Habib Rieziq Shihab, pernah menulis sebuah makalah ilmiah tentang karakter RASIS kaum Liberal.
3. Penuh kecurangan dan kebohongan
Buku ini penuh kecurangan dan kebohongan. Penulis secara sadar mengacaukan akal para pembaca dengan data-data, kutipan, referensi, dll. Tetapi semua itu tidak dituangkan dalam suatu pembahasan ilmiah secara jujur.Contoh, ketika dia menyebutkan kekejaman kaum Wahabi di hal. 61-138, bab tentang, “Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama.” Di sini yang diceritakan penulis hanya kekejaman, keganasan, kesadisan, serta angkara murka kaum Wahabi. Tetapi penulis tidak pernah sedikit pun mengakui bahwa semua itu merupakan bentuk KONFLIK POLITIK antara keluarga-keluarga Emir (bangsawan) di Jazirah Arab.
Konflik seperti itu sudah terjadi sejak lama di Jazirah Arab, bahkan sebelum Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dilahirkan oleh ibunya. Penulis ini juga hanya menghujat posisi Kerajaan Saudi, padahal yang melepaskan diri dari Khilafah Utsmani Turki bukan hanya Saudi. Disana ada Yaman, Bahrain, UEA, Qatar, Irak, Oman, Mesir, Yordania, Syria, dll. Kecurangan yang dibungkus kemasan ilmiah, tentu lebih berbahaya, sebab ia akan dikira sebagai kebenaran yang tak terbantahkan.
4. Mempromosikan ajaran Syi’ah
Buku ini juga mempromosikan ajaran-ajaran Syiah. Banyak indikasi-indikasi yang membuktikan hal itu dalam buku SBSSW. Nanti akan kita bahas secara khusus tentang akidah yang dianut penulis (Syaikh Idahram). Salah satu contoh kecil, sangat halus, tetapi kelihatan. Perhatikan kalimat berikut ini: “Pada bulan Safar 1221 H/1806 M, Saud menyerang an Najaf al Asyraf, namun hanya sampai di As Sur (pagar perlindungan). Meskipun gagal menguasai An Najaf, tetapi banyak penduduk tak berdosa mati terbunuh.” (SBSSW, hal. 104-105).Tidak ada seorang pun Ahlus Sunnah yang menyebut Kota Najaf dengan sebutan Al Asyraf. Hanya orang Syiah yang melakukan hal itu.
Kota Najaf terletak di Irak, begitu pula Karbala. Sedangkan Kota Qum terletak di Iran. Kota Najaf, Karbala, dan Qum selama ini diklaim sebagai kota suci kaum Syiah. Sepanjang tahun kaum Syiah berziarah ke kota-kota itu karena di sana ada situs-situs yang disucikan kaum Syiah. Selama ini kaum Muslimin mengenal Masjidil Haram di Makkah dengan sebutan Al Haram As Syarif. Namun kaum Syiah menyebut Kota Najaf dengan ungkapan Al Asyraf (artinya, lebih mulia atau paling mulia). Seolah, mereka ingin mengatakan, bahwa Najaf lebih mulia dari Kota Makkah. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun.
Fakta lain yang menunjukkan bahwa si penulis berakidah Syiah adalah pernyataan berikut ini: “Dalam Islam, sedikitnya ada 7 mazhab yang pernah dikenal, yaitu: Mazhab Imam Ja’far ash Shadiq (Mazhab Ahlul Bait), Mazhab Imam Abu Hanifah an Nu’man, Mazhab Imam Malik bin Anas, Mazhab Imam Syafi’i, Mazhab Imam Ahmad ibnu Hanbal, Mazhab Syiah Imamiyah, dan Mazhab Daud azh Zhahiri. Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi.” (SBSSW, hal. 208).
Demi Allah, Ahlus Sunnah di seluruh dunia Islam tidak akan ada yang mengatakan perkataan seperti ini. Perkataan seperti ini hanya akan keluar dari lidah orang-orang Syiah (Rafidhah). Lihatlah, dalam perkataan ini dia mengklaim ada 7 madzhab dalam Islam, yaitu 4 madzhab Ahlus Sunnah, ditambah 2 madzhab Syiah (madzhab Ja’fari dan Imamiyyah) dan 1 madzhab Zhahiri. Pendapat yang masyhur di kalangan Ahlus Sunnah, madzhab fikih itu hanya ada 4 saja, yaitu madzhab Abu Hanifah (Hanafi), Imam Malik (Maliki), Imam Syafi’i (Syafi’i), dan madzhab Imam Ahmad (Hanbali). Kalau ada tambahan, paling madzhab Zhahiri. Itu pun tidak masyhur di kalangan Ahlus Sunnah. Lalu dalam buku SBSSW itu, si penulis Syiah berusaha membohongi kaum Muslimin, dengan mengatakan, bahwa dalam Islam ada sedikitnya 7 madzhab. Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Bahkan madzhab Ja’fari dalam kalimat di atas disebut pada urutan pertama. Lebih busuk lagi, madzhab Syiah Imamiyyah yang merupakan salah satu sekte Syiah paling ekstrem, disebut sebagai madzhab Islam juga. Allahu Akbar!
Kalimat di atas juga mengandung kebodohan yang sangat telanjang. Coba perhatikan kalimat berikut ini: Sedangkan “Mazhab Salaf” tidak pernah ada! Sebab ulama Salaf itu banyak, termasuk di dalamnya imam-imam mazhab yang tadi. (SBSSW, hal. 208). Kalimat seperti ini hanya mungkin dikatakan oleh orang gila. Bayangkan, si penulis secara tegas mengklaim, bahwa madzhab Salaf itu tidak ada. Tetapi pada kalimat yang sama, dia mengakui bahwa imam-imam madzhab (seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad), termasuk bagian dari ulama Salaf. Si penulis bermaksud mementahkan eksistensi madzhab Salaf, tetapi saat yang sama dia mengakui bahwa imam-imam madzhab itu termasuk imam madzhab Salaf. Kalau dia jujur ingin mengatakan, bahwa madzhab Salaf tidak ada, berarti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali juga tidak ada. Ya bagaimana lagi, wong mereka itu imam-imam Salaf kok. Si penulis itu mengakui, bahwa mereka adalah imam-imam Salaf.
Sangat disayangkan dalam hal ini, KH. Ma’ruf Amin, salah satu Ketua MUI, ikut mendukung buku ini. Padahal MUI sendiri pada tahun 1984 pernah mengeluarkan fatwa yang menjelaskan pokok-pokok kesesatan paham Syiah menurut Ahlus Sunnah, kemudian MUI meminta Ummat Islam mewaspadai sekte ini. (Lihat situs voa-islam.com, tentang tersebarnya fatwa palsu MUI tentang Syiah yang ditulis anggota MUI, Prof. Dr. Umar Shihab. Fatwa itu mengklaim bahwa paham Syiah tidak sesat menurut MUI. Lalu redaksi voa-islam.com mencantumkan fatwa MUI asli yang dikeluarkan tahun 1984, tentang aspek-aspek kesesatan Syiah).
Bahkan KH. Ma’ruf Amin pernah diminta MUI untuk mengkaji tentang haramnya Nikah Mut’ah di kalangan Syi’ah. (Lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, karya Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, hal. 144. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, tahun 2006).
Seharusnya beliau membaca secara teliti buku SBSSW itu, sebelum mempromosikannya ke tengah masyarakat. Kalau ingin membantah KH. Ma’ruf Amin ini, kita merasa tidak enak, sebab beliau termasuk ulama sepuh di negeri kita. Tetapi kalau melihat keterlibatan beliau dalam mendukung buku SBSSW itu, kita sangat menyesalinya. Bisakah di sini dikatakan bahwa KH. Ma’ruf Amin ikut mendukung paham Syiah? Wallahu A’lam bisshawaab. Semoga saja dukungan KH. Ma’ruf Amin ini hanyalah merupakan ketergelinciran seorang alim dan semoga ia segera dihapus dengan pernyataan bara’ah (berlepas diri dari buku SBSSW itu). Kalau beliau tidak melakukannya, secara pribadi saya akan menyebut beliau sebagai pendukung Syiah dan SEPILIS. Siapapun yang terlibat mempromosikan ajaran sesat (Syiah dan SEPILIS) tidak layak didoakan mendapat khusnul khatimah, karena promosi seperti itu bisa membuat ribuan kaum Muslimin mati dalam keadaan su’ul khatimah. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.
5. Pemicu pertikaian besar sesama kaum Muslimin
Buku ini bisa memicu pertikaian besar di tengah kaum Muslimin. Mengapa dikatakan demikian? Sebab sang penulis tidak mengidentifikasi kaum Wahabi dengan ciri-ciri yang jelas. Dengan sendirinya masyarakat akan bingung memahami, Wahabi itu apa dan bagaimana? Perlu diketahui, yang mengajarkan Tauhid, Sunnah, ilmu, dan dakwah, bukan hanya dakwah Wahabi. Jamaah-jamaah Islam yang lain juga mengajarkan hal itu.Contoh, gerakan Ikhwanul Muslimin. Manhaj gerakan ini merujuk kepada Ushulul Isyrin (prinsip 20) yang diajarkan Syaikh Hasan Al Bana rahimahullah. Dalam prinsip itu juga diajarkan tentang pentingnya Tauhid, buruknya syirik; pentingnya Sunnah, buruknya bid’ah. Bahkan ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persis, Al Irsyad, Dewan Dakwah (DDII), Pesantren Hidayatullah, Wahdah Islamiyyah, dll. juga mengajarkan Tauhid, Sunnah, ilmu, dan dakwah. Begitu pula Majelis Mujahidin, Jamaah Ansharut Tauhiid, dan yayasan-yayasan dakwah Salafi. Jika masyarakat salah paham, mereka akan menyangka bahwa semua organisasi, lembaga, atau yayasan itu harus dibenci dan dimusuhi, karena mereka dianggap Wahabi.
6. Terang-terangan mengajarkan prinsip-prinsip kesesatan
Buku ini secara jelas telah mengajarkan prinsip-prinsip KESESATAN secara telanjang. Disini akan disebutkan beberapa pernyataan penulis. Coba perhatikan kalimat berikut ini: “Sesungguhnya Salaf tidak pernah sama dalam memahami berbagai masalah agama yang begitu komplek.” (SBSSW, hal. 201). Ini adalah jenis KESESATAN BESAR. Kalimat ini jelas meniadakan Al Ijma’ di kalangan para Shahabat, Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in. Padahal para ulama sudah sepakat, kalau suatu urusan telah menjadi ijma’ (konsensus) mayoritas Shahabat, hal itu menjadi dasar hukum yang kuat. Misalnya ijma’ Shahabat dalam memilih empat Khalifah (Abu Bakar Ra, Umar Ra, Utsman Ra, dan ‘Ali Ra) sebagai pemimpin Ummat. Ijma’ ini tidak diragukan lagi. Begitu pula ijma’ mereka dalam Jihad Fi Sabilillah, penulisan Mushaf Al Qur’an, menyatukan bacaan Al Qur’an, Shalat berjamaah di masjid, Shalat ‘Ied, Shalat Istisqa’, menyelenggarakan Zakat, Shaum Ramadhan, manasik Haji, dll. Apa saja yang dilakukan secara jama’i oleh Shahabat Ra, dan tidak ada pengingkaran mereka atas hal itu, ia adalah Ijma’ Shahabat.Kalau dikatakan Salaf tidak pernah sama dalam segala masalah agama, otomatis mereka selalu berselisih dan berselisih. Disini mengandung dua tuduhan dahsyat. Pertama, penulis itu telah menuduh para Shahabat Ra bermental buruk, sehingga sulit menyatukan kalam.
Di mata kaum Syiah, mencela, menghina, atau merendahkan para Shahabat Ra bukan sesuatu yang aneh. Bahkan melaknat para Shahabat itu telah menjadi amal shalih tersendiri. Na’udzbillah min dzalik.
Mereka selalu berpecah-belah, tak pernah bersatu. Kedua, penulis juga menuduh ajaran Islam sebagai biang perpecahan. Padahal secara hakiki, Islam mengajarkan prinsip Al Jamaah, yaitu persatuan Ummat. Bahkan ada ulama yang mengatakan, perpecahan adalah qurrata a’yun-nya syaitan. Karena syaitan sangat berkepentingan terhadap perpecahan Ummat
Kemudian, perhatikan kalimat berikut ini, “Siapa saja yang ahli atau telah memenuhi syarat dalam memahami teks-teks agama, dia berhak atas hal itu, tidak wajib mengikuti pemahaman Salaf seperti yang disangkakan Salafi Wahabi.” (SBSSW, hal. 205). Lihatlah betapa beraninya ucapan penulis ini! Dia begitu meremehkan kaum Salaf, dan merasa dirinya setara dengan Salaf. Innalillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Sudah masyhur tentang kisah Imam Malik rahimahullah. Beliau pernah ditanya 40 pertanyaan, dan sebagian besar pertanyaan itu dijawab dengan kalimat, “Laa ad-riy” (aku tidak tahu). Hanya satu pertanyaan yang beliau jawab. Lihatlah, betapa sangat hati-hatinya Imam Malik dalam berfatwa. Padahal siapa yang meragukan pengetahuan beliau tentang Islam? Ajaran yang menyuruh Ummat Islam mengikuti jejak Salafus Shalih, bukanlah monopoli kaum Wahabi. Hal itu disebutkan dalam Al Qur’an, Surat At Taubah ayat 100:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ [التوبة/100]
“Dan orang-orang yang mula pertama masuk Islam, dari kalangan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan, Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah telah menyediakan bagi mereka syurga-syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan besar.”Di sini ada kalimat وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ “walladzinat taba’uu hum bil ihsan” (dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan). Ini adalah dalil qath-iy tentang pentingnya mengikuti jejak Salafus Shalih (para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in).
Lucunya, si penulis dalam bukunya ternyata getol mengikuti konsep keilmuwan yang ditinggalkan para Salaf, setidaknya dalam soal riwayat hadits-hadits. Bisa dikatakan di sini, “Tanpa peranan generasi Salaf, kita hari ini tidak akan memiliki ilmu apapun.”
Di halaman lain penulis SBSSW berkata: “Bagaimana mungkin mereka mengharuskan kita mengikuti madzhab Salaf, kalau namanya saja tidak ada? Sebab tidak pernah ada dan tidak pernah dikenal dalam sejarah peradaban umat Islam, apa yang dinamakan madzhab Salaf.” (SBSSW, hal. 207-208). Ini adalah puncak kebodohan si penulis. Memang dalam Al Qur’an atau As Sunnah, tidak disebutkan secara eksplisit “madzhab Salaf.” Tetapi kaum Salaf itu ada dan nyata. Kaum Salaf adalah para Shahabat Nabi, Khulafaur Rasyidin, Ahlul Bait Nabi, kaum Muhajirin, kaum Anshar, peserta Perang Badar, peserta Bai’at Ridhwan, dll. Begitu pula Imam madzhab fiqih, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hanbal; para imam ahli hadits, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ibnu Majah, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i, Imam Baihaqi, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Ad Darimi, dll. Semua itu adalah kaum Salaf. Mereka ada dan nyata. Hanya orang-orang pandir yang akan mengingkari mereka.
Kita tidak perlu mencari-cari sebutan “madzhab Salaf” untuk mengikuti jejak mereka. Adanya eksistensi kaum Salaf yang merupakan generasi terbaik Ummat ini, itu sudah menunjukkan adanya manhaj Salaf. Seperti pernyataan kaum Badui yang masih bersih fithrah ketika ditanya tentang eksistensi Allah. “Adanya jejak kaki dan kotoran hewan, bisa menunjukkan adanya kafilah yang melintasi padang pasir. Begitu pula, adanya bintang-bintang di langit menunjukkan adanya Sang Pencipta alam semesta.” Adanya suatu kaum yang memiliki sifat-sifat tertentu, hal itu sudah membuktikan adanya manhaj kaum tersebut. Kalau kemudian manhaj Salaf hendak dibuang, jelas akan bubar agama ini. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik. Bagaimana bisa kita memahami Islam, tanpa metode yang dicontohkan kaum Salaf? Adapun bentuk mengikuti manhaj Salaf itu secara kongkritnya ialah mengikuti dan melestarikan kaidah-kaidah ilmiyah yang diwariskan kaum Salaf di bidang Al Qur’an, Tafsir, ilmu Hadits, Akidah, Fiqih, Ibadah, hukum Haad, Siyasah, Suluk, ilmu bahasa, sastra Arab, dll. Sejauh kita beragama mengikuti kaidah-kaidah ilmiah itu, berarti kita telah mengikuti Salaf. Dan kaidah-kaidah inilah yang selama ini hendak dihancurkan oleh para penganut SEPILIS.
7. Kurang ajar kepada para Ulama
Buku ini mengajarkan sikap kurang ajar kepada para ulama yang telah diakui oleh Ummat. Perilaku seperti ini sudah khas menjadi ciri kaum Syiah dan SEPILIS. Mereka tidak segan-segan menyerang Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Az Zuhri, bahkan melecehkan para Shahabat Ra. Salah satu bukti sikap kurang ajar ke ulama ialah perkataan penulis berikut ini: “Menurut hemat penulis, dalam masalah ini (yaitu soal apakah Al Qur’an itu makhluk atau bukan –pen.), Imam Ahmad lah yang keliru. Sebab Allah SWT secara terang berfirman dalam Al Qur’an, ‘Ma ya’tihim min dzikrin min robbihim muhdatsin’ (tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Qur’an pun yang muhdats/baru dari Tuhan mereka).” [QS. Al Anbiya’: 2].Lihat, betapa lancangnya si penulis dalam membantah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah! Dia merasa lebih pandai dari Imam Ahmad. Masya Allah.
Dengan berdalil memakai surat Al Anbiya’ ayat 2 ini, penulis hendak mematahkan akidah Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa Al Qur’an itu Kalamullah, bukan muhdats (ciptaan baru). Menurut si penulis, Al Qur’an itu ciptaan baru alias makhluk. Namun sangat curangnya, dia memotong kelanjutan dari ayat tersebut. Kelanjutannya adalah, “Illa istama’uhu wa hum yal’abuun” (melainkan mereka mendengarkan, namun dengan main-main). Jadi yang dimaksud dalam Surat Al Anbiya’ ayat 2 itu ialah celaan terhadap sikap buruk orang musyrikin, tatkala datang ayat-ayat Allah yang baru (karena memang Al Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur), mereka mendengarkan tetapi sambil bermain-main. Ayat ini berkaitan dengan kelakuan orang musyrik, bukan dalil bahwa Al Qur’an itu makhluk. Kalau tidak percaya, silakan Pembaca periksa sendiri ayat tersebut menurut versi terjemahan paling popluler di Indonesia, yaitu Departemen Agama RI. Ulama akidah menjelaskan, bahwa keyakinan ‘Al Qur’an itu makhluk’, apabila didasari pengetahuan dan kesengajaan, akan membuat kafir pelakunya. Sebab dengan keyakinan itu mereka hendak menyamakan Al Qur’an dengan makhluk, yang tentu di sisi makhluk terdapat banyak kelemahan dan kesalahan. Siapapun yang meyakini demikian, berarti dia telah kufur kepada Al Qur’an. Padahal salah satu syarat keimanan adalah at tashdiqu bil qalbi (pembenaran dengan hati). Kalau hatinya sudah kufur kepada Al Qur’an, otomatis imannya pun gugur. Maka orang-orang Syiah yang meyakini bahwa Al Qur’an telah diubah-ubah oleh para Shahabat Nabi Saw termasuk ke golongan gugur iman itu. Na’udzubillah minal kufri.
Di sisi lain, penulis ini dengan sangat lancang mengatakan: “Jadi benar apa yang disangkakan selama ini, bahwa ternyata Salaf yang mereka maksud, tidak lain dan tidak bukan, adalah Ibnu Taimiyah dan CS-nya.” (SBSSW, hal. 220). Begitu juga: “Sudah jelaslah, siapakah sebenarnya yang mereka ikuti, yakni Ibnu Taimiyah, Ibnu Abdul Wahab dan CS-nya, yang mereka klaim sebagai ‘Salaf’.” (SBSSW, hal. 222). Menyebut ulama besar dengan kata “CS-nya” bukanlah adab manusia terpelajar. Ia hanya pantas dilakukan manusia-manusia otak kotor. Lebih buruk lagi si penulis mengatakan: “Begitu juga dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh pendiri Wahabi –sosok temperamental dan kejam yang telah membunuhi ribuan umat Islam semasa hidupnya-, hampir semua ulama yang hidup sezaman dengannya menganggap ajarannya sesat.” (SBSSW, hal. 223).
Jahatnya, si penulis sama sekali tidak pernah bisa membuktikan, bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah membunuh manusia, apalagi sampai ribuan manusia. Itu tak ada bukti valid yang bisa dipegang.
Penulis ini tentu saja tidak segan melecehkan ulama-ulama besar lain, seperti Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin, Syaikh Al Albani, Syaikh Ibnu Jibrin, Syaikh Shalih Fauzan, bahkan melecehkan dewan fatwa Saudi, Lajnah Da’imah. Kalau sudah begini, apalagi yang bisa diharapkan dari penulis ini? Masih adakah kebaikan disana?
8. Memakai metode intelijen untuk mengadu-domba umat Islam
Dalam mengkritik gerakan dan paham Wahabi, penulis jelas-jelas menggunakan metode TAJASSUS alias mencari-cari kesalahan. Cara demikian biasanya dilakukan kalangan intelijen anti Islam, untuk mengadu-domba Ummat. Metode tajassus bukan metode ilmiah, tetapi termasuk metode khianat dalam ilmu. Metode tajassus pertama kali dikembangkan oleh Fir’aun dan Bani Israil, ketika mereka selalu mencari-cari kesalahan Musa As. Bahkan tajassus itu termasuk perbuatan haram. Dalam Al Qur’an disebutkan, “Wa laa tajas-sasuu” (dan janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan). [Al Hujuraat: 12].Di hadapan sikap tajassus, tidak ada seorang manusia pun yang selamat dari kesalahan. Namanya juga mencari-cari kesalahan; kalau tidak ketemu, ya dipaksakan agar tetap ada kesalahan. Dalam buku SBSSW itu penulis menyebut fatwa Syaikh Bin Baz tentang “bumi tidak berputar.” Di antara sekian banyak fatwa-fatwa Syaikh Bin Baz yang bermanfaat, sehingga Dr. Yusuf Al Qaradhawi pernah menyebut beliau sebagai Al Imamul Jazirah, ternyata oleh penulis diambil fatwa tentang “bumi tidak berputar ini” (hal. 220-221). Begitu pula penulis ini menyebut pendapat Ibnu Taimiyyah yang ganjil tentang “siksa neraka untuk orang kafir tidak kekal” (hal. 184). Pendapat-pendapat seperti ini bukan pendapat utama mereka. Ia adalah pendapat “recehan” di sisi sedemikian banyak pendapat-pendapat mereka yang berkualitas. Tetapi karena memang dasarnya benci, apapun kesalahan yang dijumpai akan dipakai untuk menyerang.
Salah satu yang lucu ialah ketika si penulis mengutip pandangan Dr. Said Ramadhan Al Buthi dalam bukunya, As Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah Laa Madzhab Islami. (SBSSW, hal. 27). Dengan dasar buku ini dia menuduh ulama-ulama Wahabi tidak mengikuti madzhab apapun. Padahal para ahli-ahli Islam sudah mafhum, bahwa ulama-ulama Saudi, termasuk Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, bahkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah, mereka itu pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Ini sangat nyata dan jelas.
Dalam soal “Al Qur’an adalah Kalamullah” jelas-jelas mereka mengikuti akidah Imam Ahmad. Begitu pula Bahkan Syaikh Al Albani rahimahullah telah menyusun kitab Al Irwa’ul Ghalil, sebanyak total 9 jilid. Kitab ini berisi takhrij hadits-hadits yang termuat dalam kitab Manarus Sabil yang menjadi pegangan fiqih madzhab Hanbali. Ulama-ulama Wahabi pun giat memberikan syarah terhadap kitab Aqidah Thahawiyyah, yang bersumber dari akidah Imam Abu Hanifah rahimahullah. Dan begitu bencinya penulis ini kepada Wahabi, sampai dia menulis: “Pembagian tauhid semacam itu tidak terdapat juga di dalam karya murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal seperti Ibnu Al Jauzi dan Al Hafizh Ibnu Katsir.” (SBSSW, hal. 236).
Kalau dunia ilmiah sudah dimasuki metode tajassus ini, hasilnya hanyalah kerusakan, dendam, dan kesesatan. Tidak ada kebaikan dari metode yang dibangun di atas cara haram. Bukankah tajassus diharamkan dalam Al Qur’an?
9. Penulisnya tertimpa penyakit Gila
Penulis ini (Idahram) termasuk orang-orang yang sudah tertimpa penyakit “gila.” Di dalam bukunya ini tercampur-baur berbagai macam pemikiran, akidah, fitnah, kebohongan, dendam kesumat, kecurangan, dan sebagainya. Bahkan di dalamnya terdapat banyak kontradiksi-kontradiksi.Contohnya, perhatikan kalimat berikut ini: “Kita harus melepaskan pemahaman-pemahaman tersebut dan kembali kepada Al Qur’an, Sunnah Rasul SAW, dan ilmu bahasa Arab sebagai alatnya. Lalu, kita pakai otak kita untuk memahami dan menelaah perkara-perkara yang diperselisihkan tersebut, sehingga akan jelas bagi kita saat itu, mana pendapat yang benar dan mana yang salah di antara mereka. Kita kembali kepada pemahaman kita, bukan kepada pemahaman Salaf.” (SBSSW, hal. 211).
Lihatlah betapa beraninya penulis dalam meninggikan otaknya di atas ilmu para Salaf yang mulia. Kemudian baca kalimat berikut ini: “Sebab, jika semua orang Arab ‘berhak’ untuk menafsirkan Al Qur’an sekehendak hatinya, tanpa mengerti rambu-rambunya, dan boleh berijtihad tanpa keahlian yang dia miliki, maka semua orang Arab menjadi ulama. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Tidak semua orang Arab mengerti agama, bahkan banyak dari mereka yang ‘lebih dajjal’ daripada dajjal. Itulah sebabnya, kenapa tidak sembarang orang boleh berijtihad dan mengeluarkan fatwa.” (SBSSW, hal. 224).
Dua kutipan ini tentu sangat mencengangkan; satu sisi memberi kebebasan penuh kepada akal untuk mencerna perselisihan-perselisihan agama; di sisi lain tidak boleh sembarangan memahami agama dengan akal sendiri. Padahal jarak antara kalimat pertama dan kedua hanya beberapa halaman saja.
Kegilaan itu merata dalam buku si penulis. Ketika dia membahas hadits-hadits tentang Najd, dia mengklaim bahwa Najd adalah tempatnya fitnah, tempatnya puncak kekafiran, tempatnya “tanduk setan.” Tetapi ketika membahas tentang kekejaman kaum Wahabi (seperti yang dituduhkan penulis), dia menyebutkan kota-kota di Najd yang menjadi sasaran keganasan kaum Wahabi, seperti Thaif, Qashim, Ahsa, Uyainah, Riyadh, Syammar, dan lainnya. (Lihat SBSSW, hal. 77-106).
10. Mendukung serangan kaum Islamophobia terhadap dakwah
Dan terakhir, di antara bahaya terbesar di balik tersebarnya buku ini, adalah suatu kenyataan, bahwa Wahabi hanya merupakan SASARAN KESEKIAN dari serangan orang-orang ini. Serangan ini merupakan satu agenda, di samping agenda-agenda serangan lain.Tentu kita masih ingat munculnya buku, “Ilusi Negara Islam.” Di sana gerakan-gerakan dakwah Islam internasional juga mendapatkan stigmatisasi, dengan label “gerakan transnasional.” Tujuannya, agar masyarakat Indonesia membenci gerakan-gerakan dakwah dari luar negeri itu.
Kita menyadari, kaum Syiah, penganut SEPILIS, Yahudi-Nashrani, orientalis Barat, aliran-aliran sesat, mereka sudah sepakat untuk menghancurkan fondasi ajaran Islam dari dasar-dasarnya. Siang malam mereka berjuang untuk merealisasikan tujuan penghancuran Akidah, Syariat, dan Peradaban Islam. Seperti LSM SETARA Institute.
Adalah sangat ajaib ketika Said Agil Siraj, Ketua Umum PBNU, memberikan dukungan terbuka terhadap buku SBSSW ini. Apa tujuannya? Apakah ingin menghancurkan dakwah Islam, ilmu Syariat, merusak persatuan Ummat, dan mencerai-beraikan proyek-proyek pembangunan Islam selama ini? Di mana kualitas intelektualitas seorang Said Agil Siraj sebagai “profesor doktor” dan Ketua Umum PBNU? Tidak ingatkah Said Agil Siraj bahwa dia mendapat gelar doktor setelah menamatkan studi di Universitas Ummul Qura’, yang dikelola kaum Wahabi?
Kalau kata orang Jawa Timur, “Yo, sing nduwe isin-lah, Pak!” Anda sudah kenyang mendapat fasilitas dari kaum Wahabi, bahkan anak-anak Anda lahir di bawah kemurahan kaum Wahabi, lalu kini Anda ikut menyerang paham Wahabi dengan membabi-buta. Apakah dulu di pesantren Anda tidak diajari pelajaran adab seorang Muslim?
Kalau membaca buku SBSSW itu, saya yakin bahwa posisi Said Agil Siraj ini –semoga Allah membalas perbuatannya secara adil dan menjadi ibrah besar bagi kaum Muslimin di Nusantara- bukan hanya sebagai pemberi kata pengantar. Saya yakin, Said Agil Siraj terlibat langsung di balik proyek penerbitan buku-buku propaganda ini.
Menurut Ustadz Hartono Ahmad Jaiz, sosok Said Agil Siraj ini pernah dikafirkan oleh 12 orang kyai. Ada pula yang melayangkan surat ke Universitas Ummul Qura, meminta supaya mereka mencabut gelar doktor Said Agil. (50 Tokoh Islam Liberal Indonesia, karya Budi Handrianto, hal. 160. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2007).
Demikianlah sekilas pandangan tentang buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi,” karya Syaikh Idahram. Buku ini andaikan ditulis dengan semangat kejujuran, metode ilmiah Islami, serta upaya melakukan koreksi terhadap sesama Muslim, dalam rangka memperbaiki kehidupan Ummat; tentu upaya itu akan disambut dengan rasa syukur. Sekurangnya, ia akan dipandang sebagai sumbangan ilmiah berharga. Tetapi dengan performa judul, metode penulisan, serta sekian banyak kecurangan yang dilakukan penulis; tidak diragukan lagi bahwa buku SBSSW itu ditujukan untuk merusak kehidupan kaum Muslimin.
Secara pribadi saya menghimbau agar para ahli-ahli Islam segera “turun tangan” untuk membuat analisis obyektif atas buku SBSSW itu. Kemudian hasilnya, silakan sampaikan kepada khalayak kaum Muslimin. Saya sendiri berpandangan, buku ini sangat berbahaya, dan sudah selayaknya di-black list, atau ditarik dari peredaran.
Akhirul kalam, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala selalu merahmati kaum Muslimin di negeri ini, menolong mereka atas segala prahara berat yang menimpa, menyantuni mereka atas segala konspirasi jahat yang dilontarkan musuh-musuh Islam, serta meluaskan hidayah ke seluruh sudut negeri, agar lebih banyak manusia yang hidup di atas keshalihan; bukan di atas khianat, kedengkian, dan permusuhan terhadap Islam. Allahumma amin. Wallahu a’lamu bis-shawab
sumber : Voice of islam, NahiMunkar
Komentar
Posting Komentar